"yuk kita belajar memahaminya"


Selamat datang di blog kami
Semoga bisa memberikan kemanfaatan

Senin, 02 Agustus 2010

Tsabat

Yang dimaksud dengan tsabat adalah tetaplah Anda sebagai aktivis dakwah dalam kondisi apa pun. Anda senantiasa aktif berjuang pada jalan yang dituju walaupun masanya panjanga, bahkan sampai bertahun-tahunm sampai mati bertemu Allah Rabbul ‘Alamin dalam kondisi itu dengn meraih salah satu dari kedua kebaikan, berhasil mencapai tujuan atau meraih syahadah pada akhirnya.
“Dan dia antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janji-Nya” (Al Ahzab:23)
Waktu bagi kami merupakan bagian dari solusi, sebab dakwah itu panjang, jauh jangkauannya, dan banyak rintangannya. Tapi semua itu adalah cara untuk mencapai tujuan dan ada nilai tambah berupa pahala dan balasan yang besar serta menarik (Hasan Al-Banna)
Yang akan ditulis disini hanya sebagian contoh dari sikap Tsabat terutama dalam menghadapi ujian keluarga/orang tua. Semoga bisa meneguhkan hati kita dalam berjuang di jalan Allah.
Para pembesar Quraisy berusaha membujuk dan mengancam Abu Thalib untuk mengentikan kegiatan dakwah yang dilakukakan kemenakannya, Muhammad saw. Abu Tholib pun sangat sedih, usianya terlampau berat memikul beban itu. Akhirnya dengan kegalauan dan kekhwatiran berat, dipanggilnya Rasulullah saw. dan mengatakan “Wahai anakku…! Sayangilah dirimu dan diriku, janganlah engkau membebani diriku dengan persoalan yang berada di luar kemampuanku..!
Mendengar kata pamannya, Rasulullah saw. menduga bahwa pamannya tidak lagi hendak menolong dan melindunginya. Tetapi keteguhan hatinya menyahut, maka kepada paman yang dicintai itu Rasul saw. berkata, “Wahai Paman. Demi Allah, seandainya mereka itu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku menghentikan urusan ini, sungguh aku tidak akan berhenti sampai Allah memenangkan agama-Nya, atau aku binasa karenanya.” Rasulullah saw. tidak kuasa membendung air matanya. Kecintaannya kepada dakwah melebihi cintanya kepada segala sesuatu, termasuk pamannya itu Meskipun Rasulullah sadar bahwa ia kecil dan besar dalam asuhannya, ia dilindungi, dan disayangi selalu. Tak pernah sekalipun paman membuat hatinya terlaku. Pun demikian dengan Rasulullah saw. pamannya itu sangat dicintai melebihi apapun. Kecuali cintanya kepada dakwah..!
Abu Thalib segera memanggil kemenakannya kembali dengan air mata berurai membasahi janggutnya, “Kemenakanku, pergilah dan katakanalah apa saja yang kau suka. Demi Allah, engkau tidak akan aku serahkan kepada siapa pun selama-lamanya!”
Demikianlah keteguhan Rasulllah saw. dalam berdakwah (diambil dari buku Teladan Tarbiyah)
Mush’ab Bin Umair. Sebelum memeluk Islam, beliau adalah anak orang yang terkemuka di Mekah, hidupnya mewah dan serba berkecukupan. Hidayah Allah pun sampai padanya hingga ia memeluk Islam. Awalnya ia merahasiakan keislamannya itu terutama kepada ibunya. Ia rajin mendatangi majlis Rasulullah di rumahnya Arqam, sedang harinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah ibunya yang belum mengetahui keislamannya. Tetapi pada akhirnya rahasianya pun terbongkar. Ia dikurung oleh ibunya tetapi akhirnya bias melarikan diri dan ikut hijrah ke Habsyi. Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan semakin meningkat Kehidupannya pun jauh berbeda dengan yang dulu. Ia hanya memakai jubah usang yang ditambal-tambal. Semenjak ibunya merasa putus asa mengembalikan Mush’ab kepada agamanya yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya. Ketika sang ibu mengetahui kebulatan tekad putranya yang telah mengambil keputusan, tak ada jalan lain baginya keculai melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi!” Maka Mush’ab pun mengampiri ibunya dan berkata” “Wahai bunda! Telah ananda sampaikan nasehat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.
Itulah keteguhan Mush’ab dalam mempertahankan keimanannya.
Satu lagi kisah dari sahabat yang mirip, yakni kisahnya Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika Sa’ad masuk Islam dan mengikuti Rasulullah, saat itu ibunya berusaha membendung dan menghalangi putranya dari Agama Allah, tetapi karena keteguhan Sa’ad usahanya itu gagal. Maka ditempuhlah oleh sang ibu yang diharapkan bias melemahkan Sa’ad dan membawanya kembali ke agama berhala. Sang ibu menyatakan akan mogok makan dan minum sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan dan minuman hingga hamper menemui ajalnya.
Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh ahal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun. Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya dengan harapan hatinya akan menjadi lunak. Sesampainya disana, Sa’ad menyaksikan pemandangan yang amat menghancurkan hatinya
Tapi keimanan terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang manapun juga. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan dikatakan olehnya “Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda… seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah ananda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apapun juga…! Maka terserah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak…!!”
Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat kepadanya sbb:
“Dan seandainya kedua orang tua memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. Luqman:15)

SUMMARY TABLIGH AKBAR ”MENGUAK TABIR MISTERI PERGERAKAN NII” 26 JULI 2010

Memenuhi undangan dari SKI FKIP UNS SOLO pada 26 Juli 2010, tim NCC mengirimkan delegasi untuk menjadi salah satu pembicara dalam tabligh akbar yang bertajuk ”Menguak Tabir Misteri Pergerakan NII”. Dalam acara tersebut seharusnya dihadiri tiga pembicara, namun karena alasan teknis, perwakilan dari MUI tidak dapat hadir. Sehingga acara berlangsung dengan dua pembicara, yaitu Al Ustadz Dr. H. M. Muinudinillah Basri, M.A. yang mewakili tokoh Islam di Solo dan Sukanto S.IP dari tim NCC.

Tabligh akbar yang berlangsung di masjid Nurul Huda itu dihadiri lebih dari 400 peserta yang berasal dari mahasiswa UNS. Beberapa diantaranya yang hadir diduga sebagai anggota NII KW9, tapi tak berselang lama mereka keluar dari masjid setelah para narasumber berbicara dengan lugas tentang seluk beluk NII KW9.

Dimulai dari pukul 8.30 hingga 11.00, tabligh akbar berlangsung serius dan ”keras”. Ustadz Muinudinillah dengan sederet hujjah yang syar’i, baik dari Al Qur’an dan Sunnah, mengulas semua kejanggalan maupun kesesatan gerakan NII KW9 yang sebelumnya dipaparkan Sukanto. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa ajaran NII KW9 dengan mengutak-atik Al Qur’an serta merubah ketentuan pasti yang diturunkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah merupakan sikap kufur yang akan membawa mereka ke neraka Jahannam. Beliau pun menggarisbawahi tentang shalat yang dibagi menjadi dua dalam terminologi NII KW9, yaitu shalat ritual (shalat lima waktu) serta shalat universal (aktifitas melaksanakan program NII) merupakan kekufuran. Menurutnya, shalat adalah ketentuan yang telah jelas dan merupakan kewajiban yang tidak bisa digugurkan dengan ketentuan dari manusia. Walaupun kemudian ajaran NII KW9 mendasarkan sikap mereka pada periodisasi Makiyah dan Madaniyah, menurut ustadz Mu’in, hal itu tidak memiliki dasar yang jelas. Beliau menambahkan bahwa istilah periode Makiyah dan Madaniyah adalah hanya istilah dalam perjuangan namun bukan berarti menggugurkan kewajiban shalat dan ibadah mahdah lain yang telah Allah tentukan dan dicontohkan oleh Rasulullah.

Pada sesi tanya jawab terungkap beberapa fakta bahwa regenerasi aktivis NII KW9 sudah masuk ke berbagai kampus di Jawa Tengah secara umum dan Solo khususnya. Gerakan mereka telah meresahkan masyarakat kampus. Pasalnya, bukan saja merugikan pribadi-pribadi yang secara langsung menjadi aktifis NII, namun dampaknya juga besar terhadap orang tua mereka masing-masing serta civitas akademika tempat mereka menuntut ilmu. Beberapa mahasiswa yang terindikasi terjangkit virus NII dalam waktu singkat berubah drastis dalam sikap. Hal ini berdampak pada nilai akademisnya yang cenderung menurun. Bahkan ada aktifisnya yang harus mengambil cuti bahkan drop out demi beraktifitas penuh di NII. Modus-modus operandi NII di Solo tidak berbeda dengan Jakarta. Pola penipuan dengan alasan menghilangkan laptop teman serta menabrak mobil orang hingga harus meminta ganti dari orang tua mereka dengan jumlah kisaran puluhan juta rupiah membuat banyak orang tua terpaksa tapi tidak curiga memberikan dana sejumlah yang anaknya inginkan.

Menutup sesi tanya jawab, Sukanto menegaskan akan pentingnya langkah antisipasi lewat sosialisasi meluas terhadap gerakan NII KW9. Pasalnya, tim NCC mendapati bahwa jaringan yang bergerak di Solo, terutama dikalangan mahasiswa, merupakan perpanjangan tangan dari NII Jakarta yang kini kesulitan dalam perekrutan. Sukanto juga menambahkan agar mahasiswa Solo serta pihak kampus melakukan gerakan secara proaktif terhadap gerakan NII. Jangan menunggu sikap dari MUI maupun kepolisian, karena itu akan menjadi harapan yang jauh panggang dari api. Hal senada juga disampaikan ustadz Mu’in. Beliau bahkan mempertanyakan lambannya sikap MUI dan kepolisian dalam mengambil langkah strategis untuk menghentikan gerakan NII yang telah memakan banyak korban. Sebagai closing statement, ustadz Mu’in memastikan bahwa gerakan NII merupakan gerakan yang musyrik dan penuh kekufuran. Maka untuk para korbannya harus diambil langkah penyadaran. Sedangkan bagi para pelakunya harus diambil tindakan tegas. Beliau juga menghimbau akan pentingnya imunisasi bagi para mahasiswa baru yang akan menjadi target perekrutan NII.

Senin, 28 Juni 2010

"PLENO I SKI FKIP UNS"

Assalamu'alaikum sahabat yang dirahmati Allah....................
alhamdulillah SKI FKIP UNS kemarin telah melaksanakan Pleno I yang diadakan melalui bidan kesekretariatan dengan ketua panitia Akh" kartiko........dan sobat yang lain juga ikut bantu pastinya........kemarin terlaksana
sabtu, 26-06-2010 jam 13.00-17.30 dan
ahad, 27-06-2010 jam 08.00-17.30
kami mengangkat tema "The Evaluation for Better work in Organization"

ya walaupun ada waktu molor2nya dikit tapi alhamdulillah lancar, dengan diterimanya laporan pertanggungjawaban 8 bidang dan 1 tim (kesekretariatan, kebendaharaan, syiar islam, pembinaan, pengembangan sumber daya anggota, humas, zis, kemuslimahan, dan tim wilayah) dengan catatan mesti ada beberapa perbaikan tentunya.
 banyak hal yang bisa didapat disana, mulai dari kritikan, saran, dan.........dan ................banyak deh yang pasti dapat menambah rasa ukhuwah dehhh................................
ada banyak yang harus diperbaiki dari setengah periode kali ini, dan dimulai dari pleno pertama ini sedikit bisa dikoreksi demi perbaikan langkah kedepannya............
ya demi kelancaran kinerja dakwah SKI mohon do'anya semoga tetep istiqomah amin...............

Minggu, 20 Juni 2010

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM


Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy
***
Inilah Obatnya

Sebelum kami berbicara lebih panjang, akan kami ajukan satu pertanyaan:
“Apakah sekarang anda sudah tahu permasalahan yang kita hadapi?"
“Apakah anda yakin dengan penyakit itu sekaligus diagnosanya?”

     Karena memahami permasalahan adalah setengah jalan dari sebuah penyelesaian. Yakin akan sebuah penyakit merupakan setengah dari pengobatan.
     Jika anda tidak yakin dengan apa yang kami paparkan, anda ragu bahwa pangkal dari musibah yang menimpa kita adalah bahaya besar dosa batin yang telah kami ringkas dalam tulisan yang telah lalu, maka tidak ada gunanya kami jelaskan obat penawarnya, karena untuk apa.
     Tapi apabila kata-kata kami sudah anda serap, anda yakin bahwa bahaya besar ini merupakan titik rahasia setiap yang kita keluhkan selama ini, maka anda akan memperhatikan apa yang kami katakan dengan penuh antusiasme, andapun dengan Islam yang anda yakini akan berusaha untuk menjadikan obat penawar ini dengan semaksimal usaha. Anda mengajak umat dan mengingatkan akan bahaya besar itu sekaligus obat penawarnya.
    Anda pun yakin bahwa ini adalah obat penawar satu-satunya, dan umat Islam sangat membutuhkannya. Karena itulah obat ini akan kami paparkan kepada diri kami sendiri untuk yang pertama kalinya, lalu kepada umat Islam seluruhnya, dalam rangka saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran dalam menjalankannya.
     Kita ini ibarat seorang mahasiswa yang berada di ruang ujian. Dalam kondisi tegang ketika menjawab soal ujian, ia minta kepada pengawas ujian segelas air yang menenangkan gelora pikirannya. Ketika air itu telah datang, ia pun meminumnya dengan segala perasaan...matanya pun terpaku pada gelas, pikirannya pun beralih, membayangkan betapa bening dan betapa lembut gelas yang ada di hadapannya, siapa gerangan yang begitu pandai memproduksinya.
     Mahasisiwa itu terlena, ia lupa dengan ujian, soal-soal ujian yang dihadapinya, waktu ujian yang sebentar lagi akan berakhir, terus tenggelam dalam imajinasinya.
    Anda tahu apa obat penawar atau solusi yang tepat yang dapat mengingatkan mahasiswa ini dengan ujian yang dihadapinya sekaligus mengembalikan seluruh alur pikirannya seperti semula?
     Ini adalah hal yang cukup sederhana. Solusinya adalah ada orang yang datang mengingatkannya, bahwa dia sedang berada di ruang ujian, waktu ujian sudah hampir habis, dan pengawas segera akan mengambil kertas jawaban dari tangannya.
     Kami kira masalah yang mahasiswa dan kita hadapi adalah sama. Tidak ada yang berbeda, kecuali medan ujian kita lebih lebar dan lebih luas cakupannya. Materi ujian kita lebih tinggi. Tetapi obat penawarnya sama, yaitu ada orang yang datang mengingatkan tentang dirinya, mengingatkan tentang masa-masa genting yang telah dilewatinya, mengingatkan akibat buruk yang telah menantinya. Dan sebaik-baik pengingat adalah kata hati yang telah lama ada dirinya.
     Obatnya wahai saudara muslimku. Kita ingat akan hakikat diri kita, kita ingat akan tugas besar kita diadakan dunia ini, lalu selalu ingat ketika kita dilalaikan dan dilupakan.
     Apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita ini adalah hamba Allah swt. Di tangan-Nya segala kekuasaan, Dia tempat kita kembali, di tangan-Nya pula hidup dan mati kita. Allah berfirman :
    “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An'am : 162)
    Hakikat ini telah tercetak dalam diri seorang mukmin maupun kafir. Adapun misi besar kita diciptakan adalah kita meletakkan ubudiyyah pada alam praktek, seluruh prilaku dan amal lahir kita berdiri di atas petunjuknya. Kita merasa tinggi dari seluruh keinginan dan nafsu syahwat. Kita menundukkan seluruh keinginan dan nafsu syahwat dibawah bimbingan perintah Allah. Hanya kepada-Nyalah kita memohon dan tunduk. Hati kita tidak bergantung kepada selain-Nya. Kita tidak berharap kebaikan kecuali kepada-Nya. Tidak berlindung kecuali kepada-Nya. Inilah prilaku yang mempertegas perbedaan antara mukmin dan kafir
    Jika kita telah mengetahui misi besar kita, maka kita akan memahami tujuan besar yang kita tuju dalam hidup di dunia ini, mengetahui betapa urgennya tujuan besar ini. Semua yang ada di dunia terbagi menjadi dua. Pertama, segala hal yang menjadi sarana membawa pada tujuan besar. Kedua, segala halangan yang memutus jalan pada tujuan besar. Yang kita lakukan agar sukses sampai kepada tujuan adalah dengan berpegang kepada sarana-sarana yang mendekatkan dan menyampaikan kepada tujuan, berusaha keras untuk menghindari rintangan atau melewatinya dengan selamat.
     Inilah prilaku dan sikap yang kita pegang dalam mencapai tujuan besar kita. Sarana-sarana yang kita manfaatkan untuk sampai kepada tujuan besar kita, merupakan bentuk syukur kita kepada Allah. Adapun rintangan yang kita hadapi dan lewati, maka itu adalah wujud kesabaran luar biasa yang diperintahkan Allah.
     Tidak ada yang mengingkari hakekat ini kecuali dua model manusia. Pertama, orang yang ingkar kepada Allah, tidak yakin akan kehambaannya, misi dan tujuan besarnya dalam hidup ini. Orang seperti ini tidak masuk dalam tema bahasan kita. Kedua, orang yang lalai dari kehambaan, misi dan tujuan besarnya dalam hidup ini, hal ini terjadi karena orang tersebut tenggelam dalam tipuan dan perangkap dunia yang melalaikan lagi melenakan. Solusi bagi model orang kedua ini adalah harus diingatkan dan diperingatkan.
     Allah maha tahu dengan kondisi manusia. Allah tahu bahwa kenikmatan dunia yang melenakan dan melupakan itu sering kali mejauhkan kesadaran manusia dari hakikat dan misi besar dirinya. Lalu Allah tetapkan syiar dua kalimat yang diharapkan melekat di hati mereka, untuk mengingatkan manusia akan diri mereka: (Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu aku memohon).
     Allah jadikan dua kalimat ini kalimat yang diulang-ulang dalam setiap rakaat shalat. Sehingga dua kalimat ini menjadi pil penguat yang akan melawan nafsu dunia. Manusia selalu sadar, ia adalah hamba Allah yang lemah dan hina di hadapan-Nya. Misi hidupnya adalah tunduk kepada Allah dengan ketundukan sempurna. Manusia yakin tidak ada manfaat atau mudharat kecuali berada dalam kekuasaan-Nya. Allah satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan segala hal.
     Apabila setiap mukmin selalu menyadari hakikat ini, atau selalu teringat ketika tarikan-tarikan dunia hendak mengikatnya, maka hatinya akan terlepas dari ikatan kepada selainnya. Hatinya tidak tertawan oleh harta, kedudukan, pujian dan kesombongan. Hatinya tidak akan beranjak untuk dengki, iri dan benci dendam. Hatinya tidak berangan-angan kosong dengan menggantungkannya kepada salah satu anak manusia.
     Hakikat ubudiyyah (kehambaan)nya kepada Allah telah melebur dalam diri mereka. Mereka tidak berhajat kecuali hanya kepada-Nya. Ia tidak mengetuk kecuali pintu-Nya yang selalu terbuka. Ketika Allah memberi mereka bersyukur dan berusaha menjadikan pemberian itu sebagai sarana untuk menahan ridha-Nya lebih banyak. Ketika Allah tidak banyak atau tidak memberi sama sekali, maka mereka pun sabar dan yakin Allah memiliki rencana yang baik untuk dunia dan akhiratnya.
      Hal ini persis dengan yang disabdakan Rasulullah saw kepada sahabat Ibnu Abbas ra. : ”Wahai Ibnu Abbas, kalau kamu minta, maka mintalah kepada Allah. Kalau kamu ingin ditolong, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh penduduk bumi berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu, maka tidak ada manfaat yang datang kepadamu kecuali yang telah ditulis oleh Allah untukmu. Ketahuilah seandainya seluruh penduduk bumi ini berkumpul untuk menimpakan mudharat atasmu, maka tidak ada kemudhratan kecuali yang telah dituliskan oleh Allah untukmu.” (HR. Turmudzi)
     Sabda Rasulullah saw ini menjelaskan dengan tegas, tidaklah menjadi syarat untuk melepaskan ketergantungan hati kita dengan dunia, mencabut naluri hajat kita akan dunia dan kelezatannya. Ini adalah sikap yang tidak benar. Sikap melawan fitrah yang telah dititipkankan Allah dalam diri hamba-Nya. Tapi yang dituntut oleh sabda Rasulullah saw adalah, hendaknya kita berhajat hanya kepada Allah, minta kepada-Nya segala hal yang kita suka dan inginkan. Kita mengadu atas segala ketidakbaikan yang menimpa kita hanya kepada-Nya. Sesuai dengan tuntunan firman-Nya :
     “ Maka mintalah rezki itu di sisi Allah.” (QS. Al Ankabut : 17)
     “Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. An Nisa : 32)
    “Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya Aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz Dzariyat : 50)
     Bahkan ketika seorang hatinya terikat kepada Allah, maka ubudiyyah (kehambannya) semakin meningkat, seiring dengan rasa butuh dan hajatnya yang semakin membuncah.
     Karena yang inti dari ubudiyyah itu adalah memperlihatkan kelemahan, butuh dan hajat kita kepada-Nya. Allah berfirman : “Manusia diciptakan dalam kondisi lemah.” (QS. An Nisa : ) Kalau bukan karena hajat yang tertanam dalam fitrah yang membuat hati kita selalu butuh kepada-Nya, kalau bukan karena kelemahan kita untuk memenuhi seluruh hajat yang ada dalam fitrah kita, maka tidak ada makna sama sekali komitmen ubudiyyah kita kepada-Nya.
      Karenanya, bukanlah suatu kontradiksi dalam sikap kita, ketika kita rela dengan keputusan Allah pada satu saat dan pada saat yang lain kita mengadu atas keputusan-Nya pula. Keduanya merupakan dua sikap yang mana ubudiyyah tidak akan sempurna tanpa keduanya.
     Dua sikap ini dihimpun oleh Rasulullah saw dalam doanya, ketika kembali dari Thaif :
    “Ya Allah kami mengadu kepada-Mu akan lemahnya kekuatanku, pikiran dan kedudukanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha pengasih, Rab hamba-hamba yang lemah dan Rabku. Kepada siapa akan engkau serahkan aku, apakah kepada orang jauh yang tidak suka keahadiranku atau musuh yang Engkau kuasakan atas segala urusanku, selama Engkau tidak murka keapadaku maka aku tidak peduli. Tapi pintu maaf-Mu begitu luas. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menyingkap segala kegelapan dan menjadikan baik setiap setiap urusan dunia dan akhirat, dari turunnya kemarahan dan murka-Mu, kepada-Mu aku ridha (atas segala yang menimpa diriku) sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas ijin-Mu.”
     Jadi, obat penawar bagi sakit yang menimpa hati kita karena dosa batin, adalah dengan selalu mengingat hakikat diri kita, selalu memahami misi hidup yang dibebankan Allah kepada kita. Lalu kita jadikan semua itu di depan mata hati kita sebagai puncak tujuan hidup, dan dunia kita jadikan sebagai sarana untuk mencapainya.
      Inilah hakikat ubudiyyah kita kepada Allah. Itulah maqam tertinggi orang-orang yang gigih menempuh jalan kepada-Nya. Inilah Maqam mulia yang selalu didambakan oleh hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Sementara kebanyakan manusia ibadahnya bias dari hakikat ini, ibadahnya hanya berhenti sebatas kulit yang lepas dari hakikatnya.